JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia terancam diserbu
insinyur impor atau asing pada tahun 2015, bertepatan dengan mulai
diberlakukannya liberalisasi pasar ASEAN. Hal ini disebabkan jumlah
insinyur Indonesia masih sangat kurang dibandingkan negara lain di
kawasan Asia.
"Ini ancaman nyata. Indonesia bakal diserbu insinyur impor atau asing
bila tidak segera melakukan terobosan radikal. Faktanya, kita hanya
punya 164 orang insinyur per 1 juta penduduk. Idealnya, harusnya 400
orang
insinyur per 1 juta penduduk," kata Ketua Umum Persatuan Insinyur
Indonesia (PII) Bobby Gafur Umar kepada pers di Jakarta, Senin
(11/11/2013).
Ditemui di sela Konferensi Federasi Organisasi Insinyur Se-ASEAN
ke-31 (Conference of ASEAN Federation of Engineering Organisations
2013/CAFEO) 11-14 November, ia mengatakan, jika dibandingkan dengan
sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, posisinya sudah 397 insinyur
per 1 juta penduduk dan Korea 800 insinyur per 1 juta penduduk.
"Mirisnya lagi adalah minat para siswa lulusan sekolah lanjutan
atau SMU untuk meneruskan ke pendidikan tinggi sampai menjadi insinyur
kelihatan sekali menurun. Kita hanya punya 11 persen atau 1,05 juta dari
total sarjana yang ada," katanya.
Dia mengatakan, idealnya 20 persen dari seluruh sarjana adalah
insinyur. Ia membandingkan, di Malaysia saja, rasio antara insinyur dan
seluruh sarjana lulusan perguruan tinggi mencapai 50 persen. "Malaysia
sekarang punya 13 juta sarjana teknik dari total 27 juta penduduknya,"
kata Boby.
Ia menjelaskan, berdasarkan sebuah kajian, Indonesia dengan
pertumbuhan ekonomi dan populasi hingga 2015 membutuhkan sedikitnya
tambahan 129.500 insinyur per tahun. Sementara pada 2015 sampai 2030,
Indonesia memerlukan sedikitnya 175.000 insinyur untuk mendorong
industri dan kawasan ekonomi khusus.
Mengutip pernyataan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, ia
mengatakan, "Jangan sampai insinyur asing yang masuk dan mengolah sumber
daya alam kita. Tidak boleh terjadi."
Ia juga menyebut,
Indonesia harus sedikitnya menambah 175.000 sarjana teknik per tahun
pada 2025 jika ingin mencapai pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita
20.600-25.900 dollar AS.
"Indonesia harus melakukan sejumlah terobosan, mulai dari
pemberian beasiswa besar-besaran untuk menjadi insinyur hingga
pembenahan di sektor regulasinya. Bukankah anggaran pendidikan sudah 20
persen dari APBN?" katanya.
Kemudian, tambahnya, Indonesia juga perlu segera memiliki
undang-undang (UU) tentang insinyur sebab jika tidak, maka para insinyur
Indonesia tidak memiliki standar internasional dan kualifikasi yang
jelas sehingga tidak bisa bersaing secara global.
"Sekadar catatan, di antara 10 negara anggota ASEAN, hanya tiga
negara yang belum memiliki UU insinyur, yakni Indonesia, Laos, dan
Myanmar. Tetapi, Myanmar dilaporkan akhir bulan ini sudah akan memiliki
UU-nya. Jadi, tinggal Indonesia dan Laos yang belum jelas," katanya.
Jika pada pasar bebas ASEAN, tegasnya, Indonesia belum juga
memiliki UU insinyur, pasar Indonesia akan bisa dengan bebas dimasuki
oleh insinyur asing dengan kualifikasi internasional, sedangkan insinyur
Indonesia tidak bisa merambah ke negara lain.