Awas, Pemerintah Rancang Aturan Pemblokiran Website!
Entah mengapa pemerintah Indonesia begitu bernafsu membuat aturan
pemblokiran di internet. Saat ini, misalnya, pemerintah sedang
mempersiapkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan
Negatif. Draft RPM itu begitu represif dan berpotensi memberangus hak
warga negara untuk berekspresi, mengakses informasi dan pengetahuan.
Bagaimana tidak, bila sebuah situs internet diblokir dengan alasan hak cipta, maka konten lainnya dalam situs tersebut yang bisa jadi tidak melanggar hak cipta dan justru bermanfaat bagi penyebaran informasi dan pengetahuan bagi masyarakat juga tidak bisa diakses.
RPM ini sangat represif, terlebih dalam pasal berikutnya, Pasal 11, disebutkan bahwa Penyelenggara Jasa Akses Internet Penyelenggara Telekomunikasi wajib melakukan pemblokiran terhadap situs- situs yang dinilai bermuatan negatif, termasuk yang dinilai melanggar hak cipta. Jadi, dalam RPM ini secara jelas memberikan kekuasaan kepada institusi bisnis (penyelenggara jasa internet) untuk menjadi semacam polisi konten di internet, yang tindakannya berpotensi melanggar hak warga negara dalam berekspresi, mengakses informasi dan pengetahuan.
Dalam RPM ini, juga tidak memberikan payung hukum bagi hak gugat masyarakat bila pemblokiran itu justru merugikan kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan warga negara untuk berekspresi, mengakeses informasi dan pengetahuan. Terkait dengan itulah sudah sepantasnya bila pemerintah tidak melanjutkan pembahasan RPM Kominfo tentang tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif ini,” tegas Firdaus Cahyadi, “Karena RPM ini sangat represif dan berpotensi melanggar hak warga negara untuk berkespresi dan mengakses informasi serta pengetahuan.
Nafsu pemerintah untuk mendapat payung hukum memblokir website di internet bukan hanya ada pada RPM tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif saja. Bersamaan dengan penyusunan RPM itu, pemerintah juga sedang menyusun RUU Revisi UU Hak Cipta.
Dalam pasal 38 di RUU Revisi UU tentang Hak Cipta itu misalnya menyebutkan bahwa seorang Menteri yang tugas dan fungsinya dibidang telekomunikasi dan informatika dapat menutup atau menghentikan layanan sistem elektronik atau konten tertentu dalam sistem elektronik dimaksud jika terdapat bukti-bukti awal pelanggaran Hak Cipta. Artinya, jika RUU ini disahkan pemblokiran website menjadi legal dengan alasan melanggar hak cipta atau copyright.
Celakanya, menurut RUU Revisi UU Hak Cipta ini pula disebutkan bahwa, pelaksanaan penutupan dan penghentian layanan sistem elektronik sebagaimana dimaksud tidak dapat dituntut secara perdata, pidana dan/atau administrasi. Ini artinya, bila kemudian keputusan pemblokiran website itu ternyata salah, misalnya dikemudian hari tidak terbukti melanggar hak cipta, maka hal itu tidak dapat digugat oleh masyarakat secara pidana, perdata maupun administratif (PTUN).
Sulit untuk mengatakan sebuah kebetulan bila pengaturan mengenai
hak cipta di internet ini sesuai dengan rekomendasi IIPA (International
Intelectual Property Aliance) merekomendasikan agar Indonesia merevisi
UU Hak Cipta yang sudah dimilikinya. IIPA ini adalah asosiasi bisnis
produk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) asal Amerika Serikat.
Dalam rekomendasi tersebut juga disebutkan bahwa IIPA juga
menginginkan bahwa pemerintah Indonesia memastikan ketentuan cybercrime
juga memuat ketentuan hukuman mengenai pelanggaran copyright berbasis
internet. Tak lama berselang dari rekomendasi IIPA tersebut, di tahun
2011 muncul wacana untuk merevisi UU Hak Cipta. Dan di tahun 2012, draft
RUU Revisi UU Hak Cipta sudah beredar di masyarakat via internet. Dan
mengenai rekomendasi mengenai cybercrime yang dikaitkan dengan
pelanggaran hak cipta dari IIPA tersebut juga dengan jelas tercermin
dalam salah satu pasal di draft RUU Revisi UU Hak Cipta dan juga RPM
tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif.
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kepentingan warganya
untuk dapat mengakses informasi dan pengetahuan daripada mengikuti
seruan dari lembaga-lembaga internasional untuk mengatur hak cipta di
internet secara lebih represif. Kepentingan warga Indonesia atas akses
informasi dan pengetahuan lebih penting daripada seruan asing itu.